Hukum waris menempati posisi penting dalam sistem hukum, terutama di masyarakat Indonesia yang plural dan religius. Pembagian waris tidak hanya menyangkut peralihan harta benda, tetapi juga menyangkut keadilan, keharmonisan keluarga, dan kepastian hukum. Dalam Islam, aturan waris memiliki dasar yang jelas dari Al-Qur’an dan hadis, yang kemudian dipertegas dalam hukum positif Indonesia seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Peradilan Agama. Meskipun demikian, praktik pembagian waris sering menimbulkan sengketa akibat perbedaan pemahaman, kurangnya dokumen yang jelas, atau ketidaksepahaman antar ahli waris. Oleh karena itu, pengaturan waris yang sistematis menjadi penting sebagai pedoman sekaligus sarana penyelesaian ketika terjadi perselisihan.
A. Pengertian Waris
Definisi waris beragam menurut para ahli. Subekti memandang waris sebagai ketentuan hukum mengenai peralihan harta kekayaan seseorang yang meninggal kepada ahli warisnya. Wirjono Prodjodikoro menekankan bahwa waris mengatur kedudukan harta kekayaan setelah pemiliknya wafat serta siapa yang berhak menerimanya. Sementara Hazairin menilai waris sebagai aturan yang mengatur peralihan harta, hak, dan kewajiban pewaris kepada ahli waris.
Dari perspektif hukum positif, Pasal 171 huruf a KHI mendefinisikan waris sebagai aturan mengenai pemindahan kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris serta penentuan siapa yang berhak menerimanya dan berapa besar bagiannya. Adapun dalam KUH Perdata, waris dipahami sebagai kumpulan aturan yang mengatur akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta peninggalannya. Dengan demikian, waris secara umum dipahami sebagai mekanisme hukum untuk memastikan kejelasan hak atas harta peninggalan sekaligus mencegah terjadinya konflik keluarga.
B. Dasar Hukum Waris
Dalam Islam, hukum waris memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur’an, hadis, serta peraturan perundang-undangan di Indonesia.
- Al-Qur’an – Beberapa ayat mengatur secara tegas mengenai waris, antara lain QS. An-Nisa ayat 7 yang menegaskan hak laki-laki dan perempuan atas warisan, QS. Al-Ahzab ayat 6 yang menekankan hubungan darah sebagai dasar pewarisan, serta QS. An-Nisa ayat 11–12 dan 176 yang merinci bagian tertentu seperti ½, ¼, ⅛, ⅔, ⅓, dan ⅙.
- Hadis Nabi SAW – Rasulullah bersabda: “Berikanlah bagian warisan kepada yang berhak, dan sisanya untuk laki-laki yang paling dekat nasabnya” (HR. Bukhari Muslim). Hadis ini menekankan pentingnya pembagian sesuai aturan agar tercipta keadilan.
- Hukum Positif Indonesia – Selain hukum Islam, Indonesia memiliki aturan nasional tentang waris, seperti KHI (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991), UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan perubahannya, yurisprudensi, surat edaran mahkamah agung. Aturan-aturan ini menjadi dasar hakim dalam menyelesaikan perkara waris.
C. Syarat Pengajuan Perkara Waris di Pengadilan
Sengketa warisan sering muncul akibat perbedaan pendapat atau ketidakjelasan pembagian. Untuk umat Islam, penyelesaian dapat diajukan ke Pengadilan Agama dengan memenuhi beberapa syarat:
- Pemohon/Penggugat hanya dapat diajukan oleh ahli waris yang berkepentingan, baik laki-laki maupun perempuan.
- Objek Sengketa harus berupa harta peninggalan (tirkah) pewaris yang belum dibagi.
- Dokumen Persyaratan meliputi surat gugatan atau permohonan, KTP pihak, akta lahir, buku nikah, akta kematian pewaris dan ahli waris yang sudah meninggal, surat keterangan ahli waris dari pejabat berwenang, serta bukti kepemilikan harta.
Prosesnya relatif sederhana, mulai dari pendaftaran gugatan, pemeriksaan perkara, hingga putusan atau penetapan hakim terkait pembagian warisan.
Kesimpulan
Hukum waris dalam perspektif Islam di Indonesia menegaskan pentingnya keadilan, kepastian, dan perlindungan hak ahli waris. Dengan dasar Al-Qur’an, hadis, dan hukum positif nasional, mekanisme pembagian waris telah diatur secara rinci baik mengenai siapa yang berhak, besarnya bagian, hingga prosedur penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama. Proses pengajuan perkara pun cukup jelas, mulai dari syarat penggugat, objek sengketa, hingga kelengkapan dokumen. Kehadiran aturan ini tidak hanya memberi kepastian hukum, tetapi juga menjaga keharmonisan keluarga serta menekan potensi konflik sosial yang lebih luas.
0 Komentar